February Wish

Teringat bulan Februari tahun lalu, kita acap kali bertengkar perihal keyakinan kita yang berbeda. Kau yang terus memojokkanku tentang pertanyaan bagaimana-bagaimana-bagaimana, aku yang selalu diam, diam, dan diam. “Bagaimana akhir dari kisah percintaan sampah ini !?”, teriakmu dihadapan wajahku yang tertunduk. Aku bagaikan raja singa yang ditaklukan oleh sang raja hutan. Kau pikir aku tak memikirkan persoalan sepelik itu! Kau pikir setelah aku mengucapkan selamat malam, selamat bermimpi indah, dan jangan lupa berdoa, kepadamu tidurku akan nyenyak! Entah kepada siapa kita berdoa malam itu.

Kau pikir aku tak belajar sholat dan mengucakap syahadat para rasul Asyhadu an Laa Ilaaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasuulullah dan memotong sebagian alat kelaminku! Kau pikir aku tak pernah membaca surah Al-Fatiah bait enam dan tujuh; “Tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat”. Tuhan kita sedang rapat di Alam sana perihal rencana penghianatanku terhadapNya. Aku memikirkannya, aku memikirkan semuanya. Hanya saja aku tidak memberitahukan kepadamu, Sayang. Kau bisa menangis jika kau mengetahui semuanya. Dan aku tak ingin kau menangis.

Seketika lamunanku tersadar, “Aku akan mengorbankan agamaku dan keluargaku jika itu memang syarat dari agamamu. Tetapi jikalau kita bersama nanti, aku tak ingin tinggal di Sumatera Utara ini. Aku ingin kita pergi jauh dari sini, aku tak ingin membuat keluargaku malu”. Dan kau berkata, “Aku tidak mau memisahkanmu dari keluargamu apalagi agamamu.” Matamu mulai berkaca-kaca dan wajahmu merah bagaikan bekas kecupan di payudara.

Malam itu, di dalam kamarmu kita bertengkar sangat hebat. Entah sudah berapa buku bercampakan, pulpen-pulpen berserakan, lampu tidur yang pecah, bingkai foto yang retak. Rambut ikalmu tak terurai lagi. Dan cermin besar di lemari pakaian dalammu, aku hantam dengan tangan kanan yang biasa aku gunakan menggenggam tanganmu. Tangan penuh dosa, telah berlumur darah bekas kepingan-kepingan kaca. Cermin itu tak lagi menampakan sisa make up di wajahmu.

Aku sudah muak. Untuk pertama kalinya aku ditampar seorang wanita. Untunglah refleksku masih dapat ku tahan. Seketika detik terhenti kala itu. Tanganku hampir mengenai pipimu. Aku sempat melihat wajah takutmu, dan refleks kedua tanganmu mencoba menghalangi pandanganku. Seketika aku ingin meneteskan air mata, detik masih saja terhenti, langsung ku daratkan ciuman tepat di bibirmu, lalu pelukan-pelukan hangat mencoba untuk menenangkan detakan jantung mu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mu. Lidah-lidah basah ini tak henti-hentinya menyapu birahi, hampir memadamkan lidah-lidah api roh kudus. Tangan-tangan kasar itu tidak lagi memelukmu, ia telah menggenggam sepasang sesuatu yang lebih besar di tubuhmu. Bergantian. Tangan halusmu telah menuntunku berziarah lebih dalam lagi untuk bertemu pujaanku. Teriakan kecil dan desahan menunjukkan kau melakukannya dengan benar. Telanjanglah, bukalah sedikit pahamu, Kekasih. Aku ingin tahu, apakah dosa juga bisa masuk surga? Ah…. Kau masih saja mendesah. Ah…. Ini bukan saja bisa banjir, tapi bandang. Kau tahu, Sayang, mendaki gunung api tak sesulit mendaki tubuhmu, ketika lahar dingin membelah dadamu: aku hanyalah pendaki yang kalah.

Tengah malam, derit ranjang. Entah sudah berapa paket waktu yang kita habiskan bersama. Peluh membasahi tubuh kita yang bersatu dalam ikatan yang entah apa namanya. Perlahan lelah semakin menjadi. Aku tak ingin menyudahi permainan ini. Kau telah bangkit berdiri hendak mengambil sesuatu dan aku berkata, “Simpan saja dulu pembungkus payudaramu, malam ini akan ku peragakan cara bulan menghisap rindu”. Sambil tersenyum kau menoleh ke arahku. Seakan senyum itu menyimpan teka-teki tentang perjalanan cinta kita. Perlahan semuanya menghilang ditelan bayang-bayang. Masih saja senyummu yang paling ku ingat di setiap pertemuan-pertemuan. Rupanya, itu adalah jawaban mengapa aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepadamu.

Subuh ini aku terbangun. Aku merasakan celanaku basah. Aku melihat ke atas, hujan semalam telah membocorkan atap rumahku. Aku langsung berwudu untuk sembayang mensyukuri indahnya pagi.

Selamat membaca.
Bagimu agamamu, bagiku kau lah segalanya…
Bagaikan adegan lambat sebuah film sex yang kau percepat. Serupa cinta yang tak pernah sampai pada orang yang tepat.
Bersambung…

Ditulis oleh Ignatyus Raditya Marbun | Wednesday, 01 February 2017 at 1:53 p.m.

Tinggalkan komentar